بسم الله الرحمن الرحيم
Bepergian atau dalam
istilah populer dikenal dengan nama “Safar “, adalah sebuah aktivitas yang
tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan kita. Oleh karena itu, Islam sebagai
agama yang sempurna dan paripurna telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
aktivitas yang satu ini. Untuk itu sedikit pada kesempatan kali ini kita akan
menyelami bersama masalah safar
A.
Devinisi Safar
Dalam bahasa
Arab, safar berarti menempuh perjalanan. Adapun secara syariat safar adalah keluarnya
seseorang dari daerahnya dengan niat menuju suatu tempat dengan menempuh suatu
tempo perjalanan. [ Shahih Fiqhus Sunnah, 1/472]
B.
Batasan Safar
Para ulama
berbeda pendapat tentang jarak perjalanan yang telah dianggap sebagai safar.
Al-Imam Ash-Shan’ani t menyebutkan ada sekitar 20 pendapat dalam permasalahan
ini sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir. (Subulus Salam, 3/109)
Namun Pendapat
yang paling kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat Ibnu Qudamah dan yang lainnya,
bahwa batasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat).
Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya
Al-’Allamah Ibnul Qayyim. Demikian pula dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahumullah. (lihat
Al-Mughni 2/542-543, Al-Majmu’ 4/150, Majmu’Al-Fatawa 24/21, Asy-Syarhul Mumti’
4/497, Al-Jam’u baina Ash-Shalataini fis Safar hal. 122) - http://asysyariah.com/safar-dan-batasannya.html -
C.
Hakekat Safar
Dalam sebuah
hadits Nabi bersabda :
السَّفَرُ
قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ نَوْمَهُ وَطَعَامَهُ فَإِذَا قَضَى
نَهْمَتَهُ مِنْ وَجْهِهِ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar adalah potongan adzab ia menghalangikalian dari
tidur dan makan. Bila salah seorang dari kalian telah menyelesaikan hajatnya,
maka hendaknya ia bersegera kembali kepada keluarganya” [HR.
Bukhori, no. 5429, Muslim no.1927]
Berkata imam
Nawawi :
مَعْنَاهُ : يَمْنَعهُ كَمَالهَا وَلَذِيذهَا ، لِمَا فِيهِ مِنْ الْمَشَقَّة وَالتَّعَب ، وَمُقَاسَاة الْحَرّ وَالْبَرْد ، وَالسُّرَى وَالْخَوْف ، وَمُفَارَقَة الْأَهْل وَالْأَصْحَاب ، وَخُشُونَة الْعَيْش
“Maknanya
: safar tersebut menghalanginya untuk tidur
dengan sempurna, dan mengurangi
kelezatan makanan. Karena di dalam safar terdapat kesusahan, keletihan, hawa yang panas
dan dingin, gelap, rasa
takut, perpisahan denga sanak
kerabat, serta hidup yang berat” [Syarah shohih muslim]
D.
Adab-Adab safar
a.
Berangkat di pagi hari
Berdasarkan sabda Nabi :
اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
“ Ya Alloh
berkahilah umatku di pagi harinya “ [Sohih Abi Dawud no. 2345]
b.
Disunahkan berangkat hari kamis
Dianjurkan untuk melakukan safar pada hari
Kamis sebagaimana kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dari Ka’ab bin Malik, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ ، وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis. Dan
beliau senang untuk bepergian pada hari Kamis.”[HR.
Bukhori no. 2950]
c.
Kalau bisa Jangan safar sendirian berkelompok lebih baik
Nabi bersabda :
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي الْوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ
“ Seandainya manusia
tahu apa yang terdapat pada safar sendirian, niscaya seorang yang hendak safar
tidak akan safar malam hari sendirian.” [HR. Bukhori no. 2998]
Selain itu Nabi juga bersabda :
الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلاَثَةُ رَكْبٌ
“Satu
pengendara (musafir) adalah syaithan, dua pengendara (musafir) adalah dua
syaithan, dan tiga pengendara (musafir) itu baru disebut rombongan musafir.” [Sohih
Abi Dawud no.2607]
قاَلَ
الْخَطَّابِي : مَعْنَاهُ أَنَّ التَّفَرُّدَ وَالذَّهَابَ وَحْدَهُ فِيْ الأَرْضِ
مِنْ فِعْلِ الشَّيْطَانِ
Berkata al khottoby : maknanya bahwa
bersendirian dalam bepergian termasuk perbuatan setan”. [tathriz riyadhis
sholihin 2/51]
d.
Mengangkat pemimpin dalam safar
Disunahkan untuk mengangkat salah satu dari
anggota rombongan sebagai pemimpin
rombongan. Sebagaimana sabda Nabi :
إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Apabila tiga
orang berangkat safar hendaklah mereka memilih salah seorang sebagai amir
(ketua rombongan).” [Sohih Abi Dawud no.2608]
e.
Mendoakan keluarga yang ditinggalkan
Disunahkan mendo’akan keluarga sebelum pergi
dengan do’a :
أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِينَكُمْ وَأَمَانَتَكُمْ وَخَوَاتِيمَ أَعْمَالِكُمْ
“Aku titipkan
kepada Allah agamamu, amanahmu, dan penutup amalmu.” [Sohih Abi
Dawud no.2601]
Atau dengan do’a :
أَسْتَوْدِعُكَ اللهَ الَّذِيْ لاَ تَضِيْعُ وَ دَائِعُهُ
"Aku
titipkan kamu kepada Allah yang tidak akan hilang titipan-Nya." [Sohih Ibni
Majah no. 2295]
Adapun keluarga yang ditinggalkan disunahkan
mengucapkan :
زَوَّدَكَ اللهَ التَّقْوَى وَغَفَرَ ذَنْبَكَ وَ يَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ
"Semoga Allah
memberikan bekal ketaqwaan kepadamu, semoga Allah mengampuni dosamu, semoga
Allah memudahkan kebaikan kepadamu dimanapun saja kamu berada." [Sohih at
Tirmidzi no. 3444]
E.
Do’a dan dzikir seputar safar
a.
Do’a naik kendaraan ketika safar:
اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, (سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَـهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ) الَلَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا البِرَّ وَالتَّقْوَى ،وَمِنَ العَمَلِ مَا تَرْضَى ، الَلَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، الَلَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِيْ الأَهْلِ ، الَلَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالأَهْلِ
"Allah Maha Besar (3X). Maha Suci Rabb yang
menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya kami tidak mampu.
Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat). Ya,
Allah! Sesungguhnya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam perjalanan ini, kami
memohon perbuatan yang meridhokanMu. Ya Allah! Permudahlah perjalanan kami ini,
dan dekatkanlah jaraknya bagi kami. Ya Allah! Engkau-lah teman dalam bepergian
dan yang mengurusu keluarga(ku). Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan
perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga". [HR. Muslim no. 1342]
Apabila kembali
dari perjalanan/safar maka do'a diatas dibaca dan ditambah :
آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ
"Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan
selalu memuji kepada Rabb kami.”[HR. Muslim no. 1345]
b.
Doa Musafir Menjelang Shubuh
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا كَانَ فِى
سَفَرٍ وَأَسْحَرَ يَقُولُ « سَمَّعَ سَامِعٌ بِحَمْدِ اللَّهِ وَحُسْنِ بَلاَئِهِ
عَلَيْنَا رَبَّنَا صَاحِبْنَا وَأَفْضِلْ عَلَيْنَا عَائِذًا بِاللَّهِ مِنَ
النَّارِ
Bagi setiap orang
yang sedang safar disunnahkan membaca doa berikut ini ketika menjelang shubuh:
سَمَّعَ سَامِعٌ بِحَمْدِ اللهِ وَ حُسْنِ بَلاَئِهِ
عَلَيْنَا ، رَبَّنَا صَاحِبْناَ ، وَ أَفْضِلْ عَلَيْنَا عَائِذاً بِاللهِ مِنَ
النَّارِ
Dari Abu Huroiroh, bahwasannya Nabi jika beliau sedang
bepergian dan mausk menjelang waktu subuh beliau berdo’a : "Semoga ada
yang mendengarkan pujian kami kepada Allah (atas nikmat) dan cobaan-Nya yang
baik bagi kami. Wahai Rabb kami, dampingilah kami (peliharalah kami) dan
berilah karunia kepada kami untuk berlindung kepada Allah dari api
neraka." .”[HR. Muslim no. 2718]
c.
Doa Singgah di suatu tempat dalam Safar
Nabi bersabda :
إِذَا
نَزَلَ أَحَدُكُمْ مَنْزِلاً فَلْيَقُلْ "أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ
التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ". فَإِنَّهُ لاَ يَضُرُّهُ شَىْءٌ
حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْهُ
“Apabila salah
satu dari kalian singgah di suatu tempat, hendaknya ia mengucapkan do'a :
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا
خَلَقَ
Aku belindung dengan kalimat Allah yang sempurna secara
keseluruhan dan dari kejahatan yang telah diciptakan
Maka sesungguhnya tidak akan memadhorotinya sesuatu
apapun sampai ia beranjak dari tempat tersebut.”[HR. Muslim no. 2709]
d.
Doa Masuk Kota atau Desa
Apabila masuk
suatu kota atau desa hendaknya orang yang sedang bersafar mengucapkan do'a :
اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّماَوَاتِ السَّبْعِ وَ مَا
أَظْلَلْنَ ، وَ رَبَّ الأَرْضِيْنَ السَّبْعِ وَ مَا أَقْلَلْنَ وَرَبَّ
الشَّيَاطِيْنِ وَمَا أَظْلَلْنَ وَ رَبَّ الرِّيَاحِ وَ مَا ذَرَيْنَ أَسْأَلُكَ
خَيْرَ هَذِهِ القَرْيَةِ ، وَ خَيْرَ أَهْلِهَا ، وَ خَيْرَ مَا فِيْهَا وَ
أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَا ، وَ شَرِّ أَهْلِهَا وَ شَرِّ ماَ فِيْهَا
"Ya Allah, penguasa tujuh lapis langit dan segala
yang dinaunginya, Penguasa bumi dan apa yang lebih kecil darinya, Penguasa
Syaitan dan segala yang disesatkan, Penguasa angin dan segala yang
diterbangkan, aku memohon kepada-Mu kebaikan kampung ini, kebaikan penduduknya
serta kebaikan apa yang terdapat di dalamnya dan aku berlindung kepada-Mu dari
kejahatan penduduknya serta segala apa yang terdapat didalamnya," [HR.
Ibnu Hibban no. 2377 (Mawaarid), Lihat Silsilah ash-Shahiihah no. 2759.)
e.
Bertakbir bila melewati tanjakan dan
bertasbih pada jalan menurun
Berdasarkan
riwayat :
عَنْ أْبِيْ
هُرَيْرَةَ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يُرِيْدُ سَفَراً
فَقَالَ ياَ رَسُوْلَ اللهِ أَوْصِنِيْ قاَلَ : أُوْصِيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَ التَّكْبِيْرِ
عَلَى كُلِّ شَرَفٍ
“Dari abu Huroiroh dia berkata : dating
seorang lelaki yang ingin bepergian kepada Nabi, ia berkata : wahai Rosululloh
berilah aku wasiat ! Rosululloh bersabda : aku wasiatkan kepadamu untuk
bertaqwa kepada Alloh dan untuk bertakbir setiap kali melewati tempat yang
menanjak.” [Silsilah asSohihah no. 1730]
Juga
riwayat
كُنَّا إِذَا
صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَإِذَا تَصَوَّبْنَا سَبَّحْنَا
“Apabila (jalan) kami menanjak, maka kami
bertakbir, dan apabila menurun maka kami bertasbih”. [HR. Bukhori no. 2994]
F.
Hukum fiqh seputar safar
a.
Disunahkan mengqosor (meringkas) solat
ruba’iyah (sholat wajib 4 rekaat) menjadi 2 rekat
Berdasarkan
firman Alloh :
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ
الصَّلاَةِ
“Jika kalian mengadakan perjalanan di muka bumi maka tidak
mengapa atas kalian untuk mengqashar shalat “ (QS. An-Nisa’: 101)
Juga
riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:
خَرَجنَا
مَعَ رَسُولِ اللهِ – صلى الله عليه وسلم -
مِن المَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ حَتَّى رَجَعَ،
قُلتُ: كَم أَقَامَ بِمَكَّةَ؟ قَالَ: عَشرًا
“Kami keluar bersama
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari Madinah menuju Makkah, maka beliau
shalat 2 rakaat 2 rakaat sampai beliau pulang ke Madinah. Saya (murid Anas)
bertanya. “Berapa lama beliau menetap di Makkah?” dia menjawab, “10 hari.”[HR. Muslim no. 693]
b.
Boleh menjamak sholat dzuhur dengan
ashar dan magrib dengan isya’
Dari
Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:
كَانَ
رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم -
يَجمَعُ بَينَ صَلاةِ الظُّهرِ وَالعَصرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهرِ سَيرٍ،
وَيَجمَعُ بَينَ المَغرِبِ وَالعِشَاءِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa menjamak antara
zuhur dan ashar jika sedang dalam perjalanan. Beliau juga menjamak antara
maghrib dan isya.” [HR. Bukhori no. 1107]
c.
Boleh mengusab khuf
Dibolehkan
bagi musafir untuk mengusap khuf (sepatu/kaos kaki) atau yang sejenisnya
sebagai pengganti dari membasuh kaki tatkala bersuci. Berdasarkan riwayat hadits
Abu Bakroh radliyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
أَنَّهُ
رَخَصَ لِلْمُسَافِرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَ لَيَالِيَهِنَّ ، وَ لِلْمُقِيْمِ
يَوْماً ولَيْلَةً, إِذّا تَطَهَّرَ فَلَبِسَ خُفَّيْهِ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا
“Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
memberi keringanan (untuk mengusap khuf –pent) bagi musafir tiga hari tiga
malam, dan bagi mukim sehari semalam. Jika beliau bersuci maka beliau memakai
kedua khuf beliau untuk mengusap keduanya. “ [As Sohihah no. 3455]
d.
Shalat di atas Kendaraan Ketika
Bersafar
Untuk
melaksanakan shalat sunnah, boleh dilakukan di atas kendaraan dan sangat baik
jika awalnya menghadap kiblat walaupun setelah itu arahnya berubah. Namun untuk melaksanakan shalat fardhu,
hendaknya turun dari kendaraan.
Dari
Jabir bin ’Abdillah, beliau mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ
تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan
shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika
ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap
kiblat.” [HR. Bukhori
no. 400]
Akan
tetapi jika seseorang berada di mobil, pesawat, kereta api atau kendaraan
lainnya, lalu musafir tersebut tidak mampu melaksanakan shalat dengan menghadap
kiblat dan tidak mampu berdiri, maka dia boleh melaksanakan shalat fardhu di
atas kendaraannya dengan dua syarat,
1.
Khawatir akan keluar waktu shalat
sebelum sampai di tempat tujuan. Namun jika bisa turun dari kendaraan sebelum
keluar waktu shalat, maka lebih baik menunggu. Kemudian jika sudah turun, dia
langsung mengerjakan shalat fardhu.
2.
Tidak mampu turun dari kendaraan untuk
melaksanakan shalat. Namun jika mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan
shalat fardhu, maka wajib melaksanakan shalat fardhu dengan kondisi turun dari
kendaraan.
Jika
memang kedua syarat ini terpenuhi, boleh seorang musafir melaksanakan shalat di
atas kendaraan.[fatawa lajnah daimah 8/126 lihat
http://www.islamqa.com/ar/ref/21869] Sehingga tidak alasan sekali seorang
musafir tidak melaksanakan shalat selama ia di perjalanan.
G.
Do’a kita mustajab
Ketika bersafar jangan sia-siakan kesempatan
ini untuk memperbanyak berdo’a. karena do’a orang yang bepergian mustajab.
Berdasarkan hadits :
ثَلاَثُ
دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ
الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan
lagi yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar) dan doa orang
yang dizholimi.” [Sohih abi Dawud no. 1536]
H.
Kusus bagi kaum Hawa
Tidak boleh bagi wanita bersafar sendirian
pada perjalanan yang berjarak sehari semalam kecuali bila ditemanai mahrom.
Berdasarkan hadits :
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلاَّ مَعَ
ذِى مَحْرَمٍ عَلَيْهَا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk bersafar sejauh perjalanan sehari semalam
kecuali bersama mahromnya.” [HR. Muslim no. 1339]
Allohu a’lam
Disarikan dari minhajul muslim bab adab
assafar dengan tambahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar